16/04/2012

Belum Tentu Semua Yang Berbentuk Kran Itu Akan Mengeluarkan Air

Sebuah Pelajaran Masa Kecil
Oleh: Ronal Rifandi, S.Pd

Beberapa hari yang lalu, saya tersasar ke salah satu blog sahabat seperjuangan nun jauh di tanah jawa sana. Sudah lama juga saya tidak bersilaturrahim ke berandanya. Kalau dilihat-lihat sebelum ini blognya sedikit tidak up date. Mungkin karena sibuknya barangkali, maklum lah ia salah satu ujung tombak dalam pergerakan kami. Tapi tidak dengan sekarang, dalam sebuah bilik di blog tersebut saya menemukan beberapa postingan baru yang cukup inspiratif dan memberi dorongan untuk juga aktif menulis kembali. Diantaranya adalah mengisahkan masa kanak-kanaknya. Dua buah postingan yang saya baca mengantarkan pada bayangan-bayangan masa lalu yang berkelebatan silih berganti dibawah tempurung kepala ini. Dan satu persatu minta untuk segera dituliskan, mereka ingin segera disedot dan dimasukkan ke dalam sebuah ampul untuk kemudian dituang ke dalam panssive (ada yang tahu, ehm..ssst).
Berikut akan saya sampaikan salah satu kisah rahasia masa kecil saya yang tersimpan rapi. Sahabat semua termasuk orang yang special jika sempat membaca ini, karena kisah rahasia itu baru saya ceritakan hanya pada adek-adek dalam liqoat pekan lalu. So… simak baik-baik ya, Ehm. Dan tetaplah rahasiakan.
Tepatnya saya kurang ingat, tapi yang jelas saat itu saya masih duduk di bangku SLTP. Saya yang hobi belajar bahasa asing, diikutkan program khusus bahasa inggris oleh ibu di sebuah lembaga kursus ternama di kota Padang. Pembelajaran disana sangat menarik dan beberapa tentornya pun berhasil mengokohkan posisinya dalam ingatan saya sampai sekarang. Namun sayang, kami putus kontak, ingin rasanya menelusuri keberadaan mereka.  Mudah-mudahan om gugel dan paman facebook bisa membantu, mudahkanlah Ya ALLAH, Amiin.
Cerita saya ini bukan tentang mereka, tapi tentang salah satu kegiatan yang harus kami ikuti disetiap akhir kursus untuk satu periode. Lembaga itu mewajibkan dan memfasilitasi para siswanya untuk melakukan praktek lapangan bahasa Inggris. Praktek lapangan yang dimaksud berupa pergi bersama dengan beberapa buah bus dari padang ke kota Bukittinggi. Sesampai di Jam Gadang, ikonnya kota wisata Bukittinggi, kami dilepas dengan bekal sebuah kartu yang nantinya harus diisi data dan tanda tangan para bule yang bertebaran di sekitaran Jam Gadang Bukittinggi. Secara teori sih program ini ok sekali. Karena siswa langsung praktek dengan native speaker, selain itu juga bisa mengembangkan keberanian dalam berkomunikasi. Tapi kalau boleh saya ceritakan padamu kawan, yang benar-benar patuh pada teori itu hanya beberapa orang saja. Kami biasanya bergerombol agak 4-6 orang. Jika melihat ada orang-orang non pribumi yang menjadi target maka salah satu atau salah dua diantara kami melakukan aksi penyapaan dan percakapan singkat alakadarnya, lalu kami sekelompok itu ikut menyodorkan kartu untuk di tanda tangani oleh si mister atau si mises. Walau hanya berkontribusi dalam mengangguk yes, me “No” kan atau sekedar menjalankan pencitraan masyarakat Indonesia yakni ramah dan penuh senyum, tanpa mempraktekkan sepatah pun kata bahasa inggris yang di pelajari. Yang penting dapat tanda tangan dan ber hai , yes, no dengan si bule, itu sudah cukup, hehe.
   Parahnya, ketika limit waktu sudah berangsur habis, maka kami sudah tak terkendali lagi, di mana tampak sebuah kelompok mendapatkan mangsa, maka kami akan bagaduru (kenal istilah ini kan? Ehm sejenis “pergi beramai-ramai dengan tergesa-gesa”) menuju tempat kelompok tersebut dan menyodorkan kartu-kartu kami. Ckckck, niat mulia yang dicetuskan dalam kurikulum kursus itu ternodai oleh tingkah kami yang polos. Tapi terus terang saja kawan,  mungkin dari pengalaman-pengalaman kecil itu membuat saya ingin menjelajahi bumi Allah yang luas ini. Menjadi Bule juga di negeri orang-orang asing tersebut.
Nah berikut ini sampailah pada bagian yang terkait langsung dengan judul di atas. Setelah berlelah-lelah mem”praktek lapangan”kan bahasa Inggris, kami biasanya cuci mata dan isi perut. Tempat faforit adalah salah satu gerai makanan cepat saji ayam goreng berlogo bapak tua (waktu itu saya belum kenal dengan Syaikh Yusuf Qordhawi yang memfatwakan boikot terhadap produk-produk yang menyokong zionis). Masa saya dahulu itu, tempat makan yang beginian belum sebanyak dan sefamiliar sekarang. Hanya di moment-moment tertentu saja kami sempat mencicipinya, termasuk kali ini. Kami merasa seporsi ayam goreng lezat yang mahal sepadan dengan letihnya “perjuangan” kami memenuhkan kartu praktek ini. Dan waktu itu adalah pengalaman pertama saya makan di restoran tersebut.
Berlagak ok dan sok paham maka pesanan sudah saya dapatkan. Di salah satu sudut ruangan saya lihat ada sejenis wastafel dengan 3 sampai 4 buah kran. Sebagai anak baik yang selalu menjaga kebersihan, seperti pesan mama “cuci tangan dulu sebelum makan”, saya melangkah mantap menuju wastafel tersebut. Sesampai disana, saya letakkan piring yang berisi ayam goreng tadi di pinggiran meja, lalu saya singsingkan lengan baju dan bersiap untuk menghidupkan keran. Tapi Alhamdulillah ada teman yang juga akan melakukan hal yang sama, bedanya ia tidak meletakkan piring dan tidak menyingsingkan lengan baju. Ia malah menyodorkan piringnya itu kebawah kran tadi dan memencet tombolnya. Subhanallah sekali Sahabat, bukannya air yang keluar, tetapi Sambal merah kental yang keluar dari sana. Dia menoleh pada saya dan bertanya “Manga Ang Nal? #1 ”. Kemudian saya jawab, “ Ndak ado doh ka maambiak sambal lo, takuik kumuah langan baju #2 ”. Dengan wajah innocent dan penuh senyum. Wkwkwkwk.
Untung saja teman saya itu datang di waktu yang tepat dan memberi contoh secara tidak sengaja. Dan tersimpanlah kisah pelajaran berharga itu sampai sekarang tanpa ada yang mengetahui selain adek-adek yang hadir dalam pertemuan pekan lalu dan sahabat yang sempat membaca tulisan ini. Pelajaran bahwa belum tentu semua yang berbentuk kran itu akan mengeluarkan  air. Ehm
Demikian kisahnya kawan, semoga bisa diambil ibrohnya (jika ada :-D). Tetap rahasiakan ya, kalau mau menceritakan ulang mohon jangan sebutkan nama si pelaku, sebut saja Richard atau James. Tapi seandainya Sahabat terpaksa juga menyebutkan nama saya, tidak apa-apa kok asal berjanji untuk sering-sering main dan silaturrahim ke blog ini. Dan jika itu membuat sahabat dan lawan bicaranya senang, maka saya juga bahagia. ^_^ (Padang, 16042012)


>>> 
#1 = Mau apa Nal?
#2 = Ndak ada, saya juga mau mengambil sambal, takut lengan baju saya kotor

0 comments: